Review Film Sang Pemimpi: Lebih Melayu daripada Novelnya

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu” adalah kalimat Andrea Hirata yang menjadi peganganku ketika sedang merantau untuk menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta. Kalimat itulah yang juga menjadi nyawa dalam film Sang Pemimpi, sekuel Laskar Pelangi yang mengangkat kisah Ikal beserta sahabat-sahabatnya ketika menjalani masa SMA sampai seterusnya.

Membayangkan diri berpisah dari orang tua sebelum umurku menginjak 17 tahun rasanya berat sekali. Aku harus melepaskan semua sifat manja dan berlatih mandiri di asrama yang menampung anak-anak dari seluruh penjuru negeri. Maka, pada masa-masa itu, aku bergantung pada film Sang Pemimpi sebagai bahan bakar utama ketika semangatku mulai loyo. Jadi, menulis review film Sang Pemimpi tentu bukanlah persoalan yang terlalu sulit karena film ini sudah kutonton puluhan kali.

Sekilas tentang Film Sang Pemimpi

Sang Pemimpi dirilis satu tahun pasca film Laskar Pelangi. Masih dengan sutradara dan produser yang sama, cita rasa dan keberhasilan film ini juga tak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Riri Riza & Mira Lesmana kembali mengajak anak-anak Belitong untuk beradu akting dengan aktor-aktor piawai dalam negeri. Pemain-pemain baru yang muncul dalam film sekuel ini, antara lain Vikri Septiawan (Ikal), Rendy Ahmad (Arai), dan Azwir Fitrianto (Jimbron). Sementara itu, artis kenamaan Indonesia yang baru hadir di sini juga tak kalah menarik, seperti Maudy Ayunda (Zakiah Nurmala), Lukman Sardi (Ikal Dewasa), Ariel Noah (Arai Dewasa), Nugie (Pak Balia), Landung Simatupang (Pak Mustar), dan Yayu Unru (Bang Rokib).

Akting Ayah Juara 1 Seluruh Dunia

Hal pertama yang menarik dari Sang Pemimpi adalah tokoh Ayah Ikal yang digambarkan sebagai figur tak banyak bicara, baik dalam novel maupun dalam film. Namun, perannya dalam tumbuh kembang Ikal agaknya cukup besar sehingga Andrea Hirata menyebutnya sebagai “Ayah Juara 1 Seluruh Dunia”. Tak ingin mengingkari penggambaran tersebut, film Sang Pemimpi juga menampilkan karakter Ayah Ikal sebagai pribadi yang tak banyak bicara.

Meski tak banyak berdialog, tokoh Ayah Ikal yang diperankan oleh Mathias Muchus berhasil membuat penonton, khususnya aku, selalu menangis ketika melihat mimik mukanya, terlebih saat mengambil rapor Ikal untuk kedua kalinya. Memang, dalam film tak diceritakan secara detail berapa banyak kemunduran peringkat Ikal sampai menciptakan momen haru tersebut. Namun, ternyata (berdasarkan novelnya), kemunduran yang dialami Ikal tak dialami oleh sahabat karibnya, Arai. Setelah mengetahui hal itu, barulah kupahami mengapa Ikal sampai berlari-lari mengejar ayahnya dalam perjalanan pulang setelah mengambil rapor, untuk meminta maaf.

Akting Mathias Muchus ketika menerima permintaan maaf Ikal kurasa cukup pas untuk menggambarkan perasaan dirinya yang tetap bangga, meskipun anak keriting jagoannya itu menduduki peringkat ke-75, alih-alih berada pada peringkat 3 seperti sebelum-sebelumnya. Padahal, dalam momen haru tersebut, Mathias Muchus tak mengucapkan satu patah kata pun. Namun, seolah-olah, mimik wajahnya mengatakan, “Tak apa-apa, Kal, kau tetap kebanggaanku.” Betapa dahsyat ekspresi yang ia tampilkan sampai berhasil menyentuh hatiku!

Lebih Melayu lewat Lagu-Lagu

Selain menggandeng aktor-aktor papan atas Indonesia, film Sang Pemimpi juga punya nilai lebih dari segi soundtrack. Menurutku, film ini hadir secara lebih Melayu (lebih realistis) dibandingkan dengan novelnya. Jika dalam novel Andrea Hirata menyebut-nyebut penyanyi kondang luar negeri, Ray Charles, sebagai musisi favorit Zakiah Nurmala, Riri Riza & Mira Lesmana lebih memilih untuk memperdengarkan lagu Melayu. Bukankah aksi Arai bernyanyi di depan kamar Zakiah Nurmala lebih mudah dibayangkan jika dirinya membawakan lagu Melayu daripada lagu-lagu asing yang mungkin belum sampai ke telinga pemuda Belitong?

Masih sama seperti film pertamanya, Laskar Pelangi, Riri Riza & Mira Lesmana barangkali ingin membuat karya ini supaya lebih dekat pada penonton yang kebanyakan adalah orang Indonesia atau Melayu lewat lagu-lagu tersebut. Masih ingat lagu “Bunga Seroja” yang dibawakan Mahar dalam film Laskar Pelangi? Bayangkan kalau bukan lagu itu yang sebenarnya dinyanyikan Mahar, tapi “Tennessee Waltz” milik Anne Murray. Atau, bukan “Fatwa Pujangga” yang dibawakan Arai di depan kamar Zakiah Nurmala, melainkan “I Can’t Stop Loving You” dari Ray Charles. Lebih sulit dibayangkan, bukan? Maka, keputusan untuk menggunakan lagu-lagu Melayu kurasa cukup tepat.

Mengapa Begini dan Mengapa Begitu?

Meski brilian dalam pemilihan soundtrack, film Sang Pemimpi tetap tidak akan bisa selengkap atau sekompleks novelnya. Banyak hal-hal yang membuatku bertanya-tanya, mengapa dibuat begini dan bukan begitu? Tak semua pertanyaan tersebut berakhir pada ketidaksetujuan sebab ada juga yang pada akhirnya aku maklumi, misalnya pada poin pertama berikut ini.

Kenapa Pak Mustar dan Bukan Pak Balia?

Berbeda dengan versi novelnya, kepala sekolah di SMA Ikal dan Arai bukanlah Pak Balia, melainkan Pak Mustar yang galaknya bukan main. Keputusan ini agaknya bisa kumengerti karena tidak ada alasan mengapa Pak Mustar yang lebih garang dan tertib tidak menjadi pimpinan di sekolah tersebut. Di sisi lain, Pak Balia, guru bahasa Indonesia yang selalu memberikan motivasi pada anak-anak, pas sekali jika dianggap sebagai orang nomor dua dalam sekolah tersebut. Lebih pas lagi karena pemilihan aktornya jatuh pada dua orang yang punya perbedaan usia cukup jauh, yaitu Landung Simatupang (Pak Mustar) dan Nugie (Pak Balia).

Alasan Capo Alung Mendatangkan Kuda-Kuda

Jimbron, tokoh yang terobsesi dengan binatang kuda ini, akhirnya mendapat kesempatan untuk menaiki kuda Australia yang didatangkan oleh Capo A Lung berkat kerja keras Arai yang membanting tulang pada Capo. Namun, alasan Capo mendatangkan kuda-kuda Australia tersebut rasanya kurang dijelaskan dalam film. Aku sendiri tidak berhasil menangkap apa latar belakang Capo mendatangkan kuda-kuda itu sampai akhirnya membaca novelnya. Ternyata, kuda-kuda itu didatangkan Capo untuk diternak agar dapat membangkitkan kembali ekonomi Belitong yang telah rapuh akibat anjloknya pasar timah.

Terlalu Banyak Kebetulan

Setelah menamatkan SMA, Ikal dan Arai lalu berlayar ke Jawa untuk menemukan mozaik-mozaik hidupnya. Ia lantas tiba di Ciputat dan bekerja serabutan sambil menunggu pengumuman masuk ke perguruan tinggi. Tak lama, Ikal dan Arai kemudian diterima di Universitas Indonesia dengan jurusan Ekonomi (Ikal) dan Biologi (Arai). Film Sang Pemimpi juga langsung mempercepat kisah hidup mereka hingga akhirnya lulus kuliah S-1, menganggur, mendaftar beasiswa S-2, kemudian diterima. Bukankah terlalu banyak kebetulan di sini? Sama-sama diterima di UI, sama-sama mendaftar beasiswa, sama-sama diterima di Universitas Sorbonne, Paris.

Padahal, dalam novel, Andrea Hirata sudah cukup realistis mengisahkan sepak terjang keduanya sesampainya di Jakarta. Mereka harus bekerja serabutan hingga akhirnya bisa punya bekal untuk kuliah S-1. Selama masa menabung itu, ternyata Arai juga tak kunjung diterima kerja sehingga dirinya kemudian merantau ke Kalimantan dan kuliah di Universitas Mulawarman. Lagi pula, bukankah mimpi terbesar mereka adalah melanjutkan sekolah di Universitas Sorbonne, Paris? Mengapa harus sama-sama melanjutkan sekolah di UI? Bahkan, Andrea Hirata pun mengatakan tujuan keduanya ke Jawa adalah untuk “merantau”, bukan untuk melanjutkan pendidikan di sana dan sebagainya.

Film Sang Pemimpi: Karya yang Menggugah Jiwa

Meski ada hal-hal yang tak sempat dijelaskan atau sengaja ditampilkan secara tersirat, film Sang Pemimpi tetap layak diakui sebagai karya yang menggugah jiwa penontonnya. Sebagai sekuel dari Laskar Pelangi, nyawa film ini tak kalah menyala seperti yang sebelumnya. Namun, tetap ada celah yang membuat kalian juga harus menikmatinya secara lengkap dengan membaca habis novel karangan Andrea Hirata berjudul serupa. Selain untuk menemukan jawaban dari hal-hal yang tak diungkap dalam film, membaca novel Sang Pemimpi juga membuat kalian bisa menikmati keindahan kata-kata yang terlontar dari Andrea Hirata. I’ll see you again next week!

Tinggalkan komentar